Istilah-Istilah Tari atau Seni Pertunjukan
Istilah-istilah Tari atau Seni Pertunjukan – Salam hangat sobat blogger sekalian, kali ini saya akan berbagi informasi mengenai isitlah-istilah yang terdapat pada seni tari atau seni pertunjukkan. Kebanyakan dari istilah-istilah tari/seni pertunjukan yang penyebarannya luas adalah istilah-istilah untuk menyebut suatu jenis penyajian. Istilah-istilah untuk menyebut jenis-jenis penyajian ini sama disebut di berbagai daerah, pengertiannya sama, tetapi di dalam detil pelaksanaan pertunjukannya berbeda. Perbedaan ini merupakan perbedaan kewilayahan, tetapi dapat juga merupakan perbedaan karena perkembangan zaman.
Di bawah ini akna disebutkan beberapa istilah yang menunjukkan jenis-jenis pertunjukkn tertentu yng mempunyai perbedaan kewilayahan:
Istilah-Istilah Tari atau Seni Pertunjukan
Angguk: Bentuk penyajian ini dikenal di daerah Kebumen, Wanasaba, Kulon Praga dan Sleman-Yogyakarta. Angguk selalu dikaitkan dengan cerita Menak tetapi kalaud i Kebumen-Wanasaba ia lebih mengarah pada bentuk drama tari, di daerah sekitar Yogyakarta ia lebih menunjukkan sifatnya sebagai tari kelompok, ditambah dengan ciri pemanggilan roh yang menonjol.
Reyog: bentuk penyajian yang dikenal luas di Jawa Tengah dan Timur ini mempunyai ciri khas berupa terdapatnya perang barongan yang berkepala harimau dengan hiasan meninggi di atasnya, disertai dengan sekelompok pasukan prajurit atau penunggang kuda. Perbedaan terletak pada ada atau tidaknya peran wanita dalam pertunjukkan itu, serta pada musik pengiringnya. Instrumen yang umum mengiringi reyog Jawa ini adalah angklung, di samping kendang dan beberapa instrumen kolotomik. Hanya selompret yang khas mengiringi Reyog Panaraga. Mengenai istilah ini patut dicatat bahwa nama reyog dikenal pula di Jawa Barat, tetapi dipakai untuk menamakan jenis yang berbeda, yaitu tekanan diberikan pada bodoran, (penyajian kejenakaan kata) dengan iringan ansambel kendang.
Jatilan: bentuk penyajian ini juga dikenal luas di Jawa Tengah dan Timur, juga ditandai oleh adanya sekelompok penari prajurit dan pasukan berkuda. Perbedaan satu daerah dengan yang lain terletak pada ada tidaknya peran cepetan wadon dan dipakai atau tidaknya selompret dalam iringannya.
Emprak: bentuk penyajian ini pun dikenal di Jawa Tengah dan Timur. Di daerah Gunung Kidul dan Bantul, emprak ini ditandai oleh permainan bersama oleh sekelompok pemain laki-laki, mulai dari pembacaan dan penyanyi riwayat nabi Muhammad S.A.W dan teks-teks ke-Islaman lain, sampai bergerak sambil duduk dan kemudian bergerak sambil berdiri bersama-sama. Iringan instrumentalia dengan terbang.
Adapun di daerah Blora, Bojanegara, Lamongan, Nganjuk, Kediri, Blitar dan Malang, emprak lebih dikenal sebagai pertunjukkan jalanan yang justru ditandai oleh adanya penari wanita atau laki-laki yang berdandan sebagai wanita. Emprak Blora menampilkan pula badutan dan sulapan dalam pertunjukannya dan sangat sedikit unsur Islam yang diperlihatkannya. Instrumen pengiring adalah angklung dan gong gumbeng (gong tiup).
Istilah-Istilah Tari/Seni Pertunjukan
Di samping persamaan istilah dengan pergeseran arti seperti yang telah disebutkan di atas, ada pula sejumlah istilah yang bunyinya sama dikenal di berbagai daerah, namun artinya lain. Misalnya istilah gandrung, di Jawa Tengah artinya Jatuh Cinta, sedang di Banyuwangi adalah nama suatu jenis pertunjukkan. Contoh lain adalah topeng. Pada umumnya istilah ini berarti suatu tiruan wajah yang dipakai di atas wajah asli seorang penari, tetapi di daerah Jakarta istilah ini hampir bisa diartikan “tontonan” atau “pertunjukkan”.
Contoh lain lagi adalah jejer. Dalam dunia pertunjukkan wayang Jawa, istilah ini berarti adegan pertama, yaitu adegan perkenalan. Adapun di Banyuwangi jejer adalah penyajian lagu-lagu dan tarian-tarian yang mengawali Gandrung.
Suatu contoh yang agak lain dapat diberikan mengenai istilah deg atau adeg, yang dikenal baik dalam lingkungan tari Jawa maupun Bali, artinya serupa tapi tak sama. Di Jawa artinya “sikap tegak tubuh”, sedang di Bali artinya “tinggi dan bentuk perawakan” seorang penari. Dalam lingkungan tari Sunda dikenal pula istilah yang hampir sama bunyinya, yaitu adeg-adeg dan artinya adalah “sikap dasar berdiri”. Ketiganya ada hubungannya dengan pengertian “berdiri”, tetapi arti terperincinya begitu berbeda satu sama lain.
Dengan contoh adeg-adeg Sunda itu pula kita sampai pada jenis hubungan peristilahan yang lain pula, yaitu dikenalnya berbagai istilah untuk suatu pengertian yang sama. Untuk arti “sikap dasar berdiri” itu pada Sunda dikenal dengan istilah adeg-adeg, pada Jawa istilahnya tanjak, sedang pada Bali agem.
Contoh lain adalah dipakainya istilah nayub, ngibing, dan nandak untuk pengertian menarikan tari pergaulan (khusus bagi laki-laki) dengan mengikuti tarian seorang penari wanita profesional. Contoh lain lagi adalah persamaan asti dari istilah Sunda badawang dengan istilah Bali barong.
Demikianlah sedikit tinjauan mengenai persebaran istilah-istilah tari dan seni pertunjukan pada umumnya.
Persamaan-persamaan istilah untuk pengertian-pengertian yang sama pada tradisi-tradisi Jawa, Bali dan Sunda kiranya masih dapat diperbanyak. Sedang persamaan istilah untuk arti-arti yang berbeda atau bergeser, misalnya antara Jawa dan Bali dapat ditambah misalnya dengan istilah-istilah badong, bapang dan joget.